Lensantara, Malinau : Dua kesenian khas Jawa Barat, Tarawangsa dan Kaulinan Barudak Sunda, menjadi salah satu daya tarik dalam Festival Budaya Irau ke-11 dan HUT ke-26 Kabupaten Malinau, Rabu (15/10/2025). Melalui dua atraksi ini, Paguyuban Pasundan Malinau menghadirkan kekayaan tradisi dan nilai kearifan masyarakat Sunda ke tengah masyarakat lintas etnis di Bumi Intimung.
Atraksi pertama menampilkan kesenian Tarawangsa, yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Dikenal sebagai kesenian buhun atau tradisi kuno, Tarawangsa sarat makna spiritual dan menggambarkan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Ketua Paguyuban Pasundan Malinau, Rury Ahmad Sururie, menjelaskan bahwa Tarawangsa merupakan warisan budaya agraris yang telah ada sejak tahun 1550. “Tarawangsa merupakan doa dan ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Dalam pertunjukannya di Irau, masyarakat disuguhkan prosesi upacara Tarawangsa yang utuh, mulai dari Saehu (sesepuh laki-laki pemimpin ritual), Paibuan (ibu-ibu pendamping), hingga Panabeuh (pemain kecapi dan rebab).
Gerak tari Paibuan yang berputar dan memercikkan air melambangkan penyucian serta doa agar bumi tetap subur. Setiap unsur dalam pertunjukan mengandung filosofi, seperti selendang lima warna yang dipakai Paibuan sebagai simbol unsur kehidupan, serta sesaji hasil bumi di Parukuyan sebagai penghormatan bagi Dewi Sri.
“Melalui simbol-simbol itu, warga Sunda mengekspresikan rasa syukur dan penghormatan pada alam,” jelas Rury. Untuk diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI juga telah menetapkan Tarawangsa sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional sejak 2011.
Ia berharap penampilan di Irau dapat menumbuhkan semangat pelestarian budaya di kalangan generasi muda. Setelah Tarawangsa, panggung festival dilanjutkan dengan atraksi Kaulinan Barudak Sunda, permainan tradisional anak-anak yang populer pada era 1970 hingga 1990-an.
Permainan ini dilakukan secara berkelompok di halaman rumah atau sekolah dengan gerakan sederhana namun sarat keceriaan. “Permainan seperti Oray-orayan, engklek, dan perepet jengkol menjadi cara anak-anak menjalin persahabatan dan belajar kerja sama,” tutur Rury.
Menurutnya, seiring perkembangan zaman, permainan tradisional mulai jarang dijumpai dan tergeser oleh permainan modern. “Melalui Festival Irau ini kami ingin menghidupkan kembali semangat kebersamaan masa kecil sekaligus mengenalkan budaya Sunda kepada masyarakat luas,” imbuhnya.
Atraksi Kaulinan Barudak Sunda yang diiringi musik dan narasi khas Sunda itu ditutup dengan ajakan kepada penonton untuk ikut bermain Oray-orayan bersama. Tawa penonton dan suasana riang menutup sore festival dengan kesan hangat, memperlihatkan bagaimana budaya mampu menjadi jembatan kebersamaan di tengah keberagaman.
Bupati Malinau Wempi W Mawa menyampaikan apresiasi atas partisipasi Paguyuban Pasundan yang menampilkan pertunjukan penuh makna. “Kehadiran Tarawangsa dan Kaulinan Barudak Sunda memperlihatkan betapa kayanya budaya bangsa ini. Ini bukti bahwa keberagaman adalah kekuatan yang menyatukan kita,” katanya.
Alunan lembut rebab dan kecapi berpadu dengan keceriaan permainan anak-anak menjadi penutup yang harmonis. Dua atraksi budaya Sunda itu meninggalkan pesan bahwa tradisi lama terus hidup dalam semangat kebersamaan masyarakat Malinau.