Lensantara, Malinau : Lembaga Adat Dayak Punan Kabupaten Malinau menampilkan ritual sakral Mekan Tun Tano dalam rangkaian Irau ke-11 dan HUT ke-26 Kabupaten Malinau, Jumat (17/10/2025), di Padan Liu Burung.
Etnis Dayak Punan ingin menegaskan kembali hubungan simbolis antara manusia, tanah (tano), dan air (ungei), serta mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem melalui praktik adat dengan menghadirkan atraksi budaya ini.
Upacara dipimpin oleh tetua adat dan diikuti perwakilan dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), antara lain DAS Mentarang, Tubu, Belinau/Malinau, Bengalun, Pujungan, dan Kayan Hilir.
Ritual diawali dengan pembacaan doa adat nyeluhui, uku pata, dan uku korip yang dipimpin bergantian oleh para tetua untuk setiap perwakilan DAS.
Puncak upacara adalah penyembelihan ayam jantan: kepala digunakan sebagai simbol persembahan, dan darahnya dipercikkan ke tanah serta air yang telah disiapkan.
Setiap perwakilan menancapkan tusuk daging ayam pada media yang disebut Mekan Tun Tano sebagai tanda doa bersama untuk kesejahteraan wilayah masing-masing.
Sesajian berupa umbang (minum pengasih), burak atau tapai, sirih, pinang, dan tembakau lempeng turut dipersembahkan sesuai ketentuan ritual.
Menurut Ketua Lembaga Adat Dayak Punan, Elison, inti ritual adalah pengakuan filosofis bahwa tanah dan air adalah satu kesatuan yang menopang kehidupan.
”Orang Punan percaya, alam memiliki roh, baik tanah maupun air. Karena itu, ketika manusia memperlakukan alam dengan tidak hormat, maka alam pun tidak lagi memberi kesejahteraan,” ujarnya.
Elison menegaskan bahwa pesan upacara bersifat etis sekaligus preventif: menjaga hubungan harmonis dengan alam adalah cara menghindari bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
“Peliharalah Bumi (tano dan ungei) di mana engkau berpijak, maka engkau akan selamat,” kata Elison, yang juga mengaitkan pesan itu dengan tema Irau bahwa “Malinau Sang Negeri Pengendali Air,” harus disertai kewajiban menjaga alam.
Elison menutup dengan penegasan bahwa budaya Dayak Punan merupakan panduan aksi, mengajak agar pengelolaan sumber daya dilakukan secara arif dan berkeadilan demi kesinambungan hidup komunitas adat di Malinau.
Rangkaian atraksi adat yang ditampilkan etnis Dayak Punan juga meliputi penyambutan adat Lemarih, pertunjukan keledu-ketuya, dan tarian pementasan berjudul Mekan Lun Tano, yang menggambarkan kelahiran kehidupan dari pertemuan tanah dan air.
Elison menambahkan bahwa upacara ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan kembali tradisi leluhur kepada generasi muda yang mulai kehilangan akses kepada penutur dan pelaku adat.