Lensantara, Malinau : Api memiliki tempat istimewa dalam sejarah kehidupan Etnis Dayak Sa’ban. Melalui upacara adat Maluen Apui Leu’ atau “Menghidupkan Korek Bambu”, masyarakat Sa’ban memperingati kembali jejak leluhur mereka dalam menjaga sumber kehidupan.
Tradisi ini kembali ditampilkan pada perayaan Festival Irau ke-11 dan HUT ke-26 Kabupaten Malinau. Ketua Lembaga Adat Dayak Sa’ban Kabupaten Malinau, Jhonson, menjelaskan bahwa Apui Leu’ merupakan alat tradisional yang digunakan untuk menyalakan api sebelum adanya korek modern.
“Pada masa dulu, bambu dan batu menjadi alat untuk membuat api. Karena pada saat itu kan nenek moyang kita belum mengenal korek api seperti sekarang ini,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).
Api yang menyala di rumah maupun di ladang atau di hutan menjadi lambang kehidupan dan semangat yang harus dijaga. “Kita tau bersama bahwa api memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan dulu dan sekarang,” tutur Jhonson.
Dalam pertunjukan adat tersebut, sejumlah warga Sa’ban memperagakan proses menyalakan Apui Leu’ menggunakan bambu kering, batu, lumut, dan akar kayu. Proses itu menggambarkan keterampilan leluhur yang memanfaatkan alam dengan bijak serta kesabaran dalam menjaga nyala api.
Jhonson menambahkan, pelaksanaan Maluen Apui Leu’ di ajang festival budaya Irau menjadi sarana untuk mengingatkan generasi muda akan sejarah perapian yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Sa’ban. “Kami ingin anak-anak tahu bahwa nenek moyangnya dulu bisa membuat sumber perapian dari bahan sederhana,” katanya.
Ia menambahkan, melalui pelestarian upacara adat ini, Etnis Dayak Sa’ban berupaya menjaga makna perapian sebagai warisan budaya yang diharapkan dapat menguatkan semangat kebersamaan dan penghormatan terhadap alam di Bumi Intimung.
Sejarah Perapian Etnis Dayak Sa’ban dalam Upacara Adat Maluen Apui Leu’
