Kalong Raksasa, Simbol Ketekunan Dayak Tenggalan di Panggung Irau

Lensantara, Malinau : Di antara gemerlap stan dan pertunjukan seni pada Festival Budaya Irau ke-11 dan HUT ke-26 Kabupaten Malinau, satu karya tangan warga Dayak Tenggalan berdiri mencolok sebuah kalong raksasa setinggi empat meter yang sepenuhnya dikerjakan secara manual.

Kalong atau bekang, wadah anyaman yang digunakan membawa hasil panen dari ladang ke kampung. Kalong melambangkan gotong royong dan ketahanan masyarakat menjaga kesinambungan hidup.

‎Bagi masyarakat Tenggalan, kalong adalah penanda perjalanan hidup, alat angkut tradisional yang dahulu digunakan untuk membawa hasil kebun, kayu, dan sagu dari hutan ke kampung. Dari benda sederhana itulah lahir ide untuk menghadirkan kalong berukuran raksasa, sebagai penghormatan pada kerja keras dan ketekunan leluhur.

‎Ketua Lembaga Adat Dayak Tenggalan, Kursani, mengatakan pembuatan kalong berukuran 4 meter itu melibatkan seluruh elemen warga. “Setiap rotan dipilih, dibersihkan, dan dianyam dengan tangan. Tidak ada mesin, tidak ada cetakan. Semua dikerjakan seperti cara lama,” ujarnya.

‎Proses pembuatannya dimulai dari hutan, tempat masyarakat mencari rotan terbaik. Bahan dibersihkan dan dijemur agar lentur, lalu dibengkokkan perlahan menggunakan panas api dan tekanan tangan.

Bacaan Lainnya

“Membuat rangka butuh kesabaran. Satu lengkungan saja bisa dikerjakan berjam-jam,” tuturnya. Setiap tahap dilakukan secara gotong royong, warga bergantian menyiapkan bahan, menganyam, dan menyusun rangka hingga larut malam.

‎Bagi mereka, kerja sama ini merupakan cara memelihara nilai kebersamaan yang telah lama menjadi inti kehidupan Dayak Tenggalan. “Yang kami banggakan bukan besarnya kalong-nya, tapi kebersamaan di baliknya,” kata Kursani.

‎Kalong raksasa itu berdiri megah di depan stan Dayak Tenggalan pada arena Irau, menarik perhatian setiap pengunjung. Di balik bentuknya yang kokoh, tersimpan kisah ketekunan, kesabaran, dan semangat mempertahankan warisan budaya dengan tangan sendiri.

‎Bagi masyarakat Tenggalan, pengajuan kalong ini ke Museum Rekor Indonesia (MURI) hanyalah bentuk pengakuan tambahan. Yang lebih penting, karya itu membuktikan bahwa tradisi terus berdenyut dalam sendi kehidupan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *