Lensantara, Malinau : Rangkaian Festival Budaya Irau ke-11 dan peringatan HUT ke-26 Kabupaten Malinau, Kamis (16/10/2025), Lembaga Adat Bulungan Kabupaten Malinau menampilkan prosesi perkawinan adat Bulungan, sebuah pertunjukan yang sarat nilai-nilai luhur tentang komitmen dan kehormatan keluarga.
Ketua Lembaga Adat Bulungan, Datu Misrah, menjelaskan bahwa prosesi adat ini menampilkan perjalanan lengkap perkawinan tradisional, dimulai dari tahap beseruan atau lamaran hingga lungkap tabir atau buka tirai dalam persandingan.
“Setiap tahapan menggambarkan bagaimana hubungan dua keluarga dijalankan dengan rasa hormat dan tanggung jawab,” ujarnya. Beseruan atau melamar, menjadi gerbang pertama menuju ikatan suci.
Pihak laki-laki mengunjungi keluarga perempuan untuk menyampaikan niat meminang. Jika tercapai kesepakatan, lamaran ditandai dengan pemberian seloham emas berbentuk cincin.
“Kalau manusia pegang janji, kalau hewan pegang tali, sebagai pengingat agar janji itu dijaga seumur hidup,” katanya. Dalam beberapa kasus, permintaan sumah atau mas kawin menjadi perdebatan.
Keluarga laki-laki biasanya menggelar musyawarah besar yang disebut berkumpol atau piring terbang. Tradisi ini menjadi wadah mencari mufakat tanpa merusak hubungan kekerabatan.
Setelah kesepakatan dicapai, prosesi berlanjut ke ngantot sangot atau antar jujuran, yaitu penyerahan tanda ikatan berupa cincin atau logam emas kepada pihak perempuan. Tahapan ini menjadi simbol penguatan janji sebelum memasuki masa persiapan pernikahan.
Di tahap berikutnya, masyarakat Bulungan mengenal malom berpupur atau malam pupuran, tradisi pembersihan diri yang dilakukan menjelang akad nikah. Terdiri dari pupur muka, pupur badan, dan pupur kepala, masing-masing melambangkan kesucian lahir batin.
“Pupuran adalah lambang kesiapan spiritual menuju hari dau sengedau atau hari pelaksanaan akad,” ujar Datu Misrah. Selanjutnya, puncak acara ditandai dengan pelaksanaan akad nikah di hadapan penghulu dan saksi dari kedua pihak.
Setelah ijab kabul sah, kedua mempelai bersujud memohon restu kepada orang tua sebelum dipersandingkan di pelaminan. Sebelumnya, ada tradisi lungkap tabir atau buka tirai, prosesi penuh simbolisme yang menjadi ujian terakhir bagi keluarga mempelai laki-laki.
Dalam lungkap tabir, tujuh lapisan tirai menutupi mempelai perempuan, masing-masing dijaga oleh orang yang mengajukan syarat kepada pihak laki-laki. Setiap syarat harus dipenuhi agar tirai dapat dibuka satu per satu.
Proses ini menggambarkan perjuangan dan kesungguhan sebelum bertemu “sang permaisuri”. Masyarakat setempat mengaitkan tradisi ini dengan sistem pertahanan istana masa lalu, di mana setiap gerbang kerajaan hanya dapat dilewati dengan usaha dan ketulusan.
Setelah tirai terakhir terbuka, kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan dan dirayakan dengan tarian pesisir seperti jepen dan ulun benna. “Seni ini bagian dari adat rambulungan, warisan yang harus tetap hidup agar generasi muda tahu akar budayanya,” kata Datu Misrah.
Rangkaian prosesi masih berlanjut hingga tiga malam setelah pernikahan. Pada malam ketiga, atau ketelu malom pengantin beru, dilaksanakan lungkap seluar, simbol penghormatan bagi mempelai perempuan melalui pemberian cincin emas.
Setelahnya, kedua pengantin menjalani prosesi sempung ampi atau pengantin satu sarung, yang melambangkan persatuan lahir dan batin, lalu dilanjutkan dengan acara ngengkiban atau bemertua, yaitu kunjungan ke rumah orang tua perempuan untuk memohon restu.
Menurutnya, Setiap tahapan mengajarkan tentang kesungguhan, kesetiaan, dan nilai kekeluargaan yang masih relevan hingga kini. “Kami ingin generasi muda memahami bahwa adat bukan sekadar seremonial, tetapi pedoman hidup yang menjaga martabat manusia,” tutup Datu Misrah.